Walat dan Sungkeman


Borobudur-01Walat dan Sungkeman
Oleh ShodiqielHafily
21 April 2008

April – Mei adalah musim ujian dan musim “pertobatan”. Hari-hari yang berat bagi siswa-siswi kelas akhir: 6, 9 dan 12. Mereka yang dulu-dulunya cuek bebek atau tukang bikin ulah, kini mengubah diri cukup drastis jadi anak baik-baik, lebih tekun dan rajin belajar, istighotsah pun lebih khidmat. Malah trouble maker-nya tampak paling sering sungkem-mohon doa restu guru dan lebih bakti kepada orang tua. Mungkin takut kuwalat, bisa ga’ lulus!
Dalam proses, selalu terbuka harapan akhir yang baik, betapapun carut-marut sebelumnya. Hasil akhir tak pernah pasti sebelum peluit panjang berbunyi. Jadi, jangan pernah tempelkan label sebelum dikemas.

Bicara kuwalat, definisinya saya tak tahu pasti. Saya hanya menyimpulkan pengertiannya dari siyaq al-kalam ketika kata itu diucapkan. Seperti: Malin Kundang menjadi patung batu kuwalat ibunya. Maka kuwalat bisa diartikan kutukan yang jadi kenyataan.

Tapi saya lebih cenderung mengaitkan asal-usul kata kuwalat dengan bahasa Arab walad, maknanya anak, lahir atau muncul. Karena kaitan itu sesuai dengan hadis yang biasa diceramahkan dalam pengajian-pengajian yang menyatakan bahwa ada beberapa jenis dosa yang akibat-siksaannya disegerakan, tidak menunggu pengadilan di hari kiamat. Itulah arti kuwalat, menurut kesimpulan saya. Diantaranya adalah durhaka kepada orang tua yang – kemudian – diqiyaskan dengan memasukkan guru dalam kategori orang tua.

Di majlis-majlis ta’lim juga sering dikemukakan bahwa orang tua itu ada tiga; 1) orang tua yang melahirkan kita, 2) orang tua yang mendidik dan mengajar kita, dan 3) orang tua yang anaknya kita nikahi.
Di samping itu, didukung pula oleh hadis paling populer yang menjadi hafalan sejak kecil, ridlo Allah fi ridlo al-walidayn. Jadi, sungkem-mohon doa restu dimaksudkan untuk mengharap, sekiranya ada dosa, khilaf atau hal-hal lain yang kurang berkenan, agar direlakan oleh yang bersangkutan sehingga Tuhan berkenan melapangkan jalan yang kita tempuh untuk mencapai tujuan.

Dalam perkembangannya, sungkem-mohon doa restu menjadi bagian utama dalam prosesi pernikahan hingga upacara brobosan dalam tradisi Jawa-Solo. Yang terakhir ini saya ketahui di tv pada upacara pelepasan jenazah Pak Harto yang mangkat pada 27 Januari 2008 (13.30).

Pesantren salaf sangat kental dengan tradisi sungkem. Saya pernah punya pengalaman kurang menyenangkan soal sungkeman ini. Tahun 1996 saya berombongan ke Muntilan untuk ikut bay’atan umum thariqat Syadziliyah yang digelar setiap tahun. Pada waktu sowan ke Mbah Mad (KH. Ahmad Dalhar), semua orang merangkak-ngesot untuk bersalaman dengan Mbah Yai. Sepanjang antrian itu hati saya berontak, kepada orang tua yang melahirkan saya saja saya tidak pernah memberikan penghormatan semacam ini. Seingat saya, Nabi Muhammad juga melarang orang berdiri untuk memberi penghormatan karena kahadiran beliau. Beliau bilang yang demikian itu tradisi penghormatan kepada raja-raja, dan Maharajanya umat Islam hanyalah Allah.

Wah, yang ini berlebihan, batinku. Akhirnya tiba giliran saya sungkem, saya berjalan mendekat sambil merendahkan punggung sepantasnya. Walau terasa benar perbawa Mbah Yai ketika itu, saya tetap tidak merangkak-ngesot seperti yang lain-lain. Ketika sudah di luar, saya diberi tahu saudara yang mondok di sana, katanya teman-teman santri hampir menghajar saya kalau tidak ada yang menengahi karena saya dianggap su’ul adab.

Ketika itulah saya menyadari bahwa saya memang kurang tahu adat sopan santun. Mestinya saya ikuti adat budaya yang berlaku di daerah setempat kalau ingin selamat. Magelang memang tak jauh dari Solo yang merupakan basis tradisi keraton.

Pengalaman itu hingga sekarang melekat dan membuat saya suka mencermati tradisi sungkem unik ini. Sering saya jumpai pada acara-acara tertentu, orang menyampaikan kalimat, “Yang kami hormati dan mulyakan..”. Pada hal orang yang dihormati dan dimulyakan tidak hadir di situ. Tampak lucu bagi saya kalau terlalu kasar disebut bodoh. Wong orangnya ga’ ada, apanya yang dihormati?!

Di lingkungan saya juga begitu. Anak-anak santri suka terlalu berlebihan dalam hal sungkem-sungkeman kepada guru atau kiainya. Ngesot dan mencium tangan bolak-balik. Agaknya, saya tidak ada teman untuk menormalisir tradisi itu kepada batas-batas kewajaran.

Mengapa saya besar-besarkan soal “sepele” ini? Selain sejumlah alasan yang telah terkedepan di atas, ada beberapa alasan lain:
1. Menghindarkan santri dari kultus individu yang bahayanya dapat mengarah kepada penentuan nasib malang-mujur atau gagal-suksesnya menuntut ilmu seolah tergantung di telapak tangan sang guru.

2. Agar santri tidak tersekat “tembok beton” dengan sang guru dalam proses transformasi ilmu yang mengakibatkan hilangnya sikap kritis dan melekatnya ‘sendiko dawuh’.

3. Menghindarkan santri dari budaya tashannu’ (tindakan yang dibuat-buat) yang dapat mengarah pada mentalitas munafik. Di hadapan sang guru tampak sangat taat, sopan dan santun, tapi lepas dari itu kurang dipraktekkan dalam interaksi sosial.

4. Agar santri tidak ‘menyekutukan’ orang tua dengan yang lain. Misalkan diperintah guru agar nyemplung got langsung nyebur, saya tidak yakin kalau disuruh orang tuanya sendiri akan setaat itu. Padahal, orang tua adalah perantara wujud kita, yang merawat dan membesarkan dengan jerih payah dengan setiap tetes keringatnya, juga guru pertama sejak dari ayunan.

5. Dari sudut sang guru sendiri, sudah teramat jarang kalau tidak dikatakan tidak ada lagi guru atau kiai yang memiliki kemampuan luar biasa semisal transfer ilmu melalui telapak tangan.

Saya teringat saat masih di Alkhoirot. Kalau keluar malem-malem, jambu air (kelampok, Jawa) di sebelah masjid banyak yang jatuh berserakan di tanah. Perut yang keroncongan dan papin (pengen makan-makan atau ngemil, Jawa), tidak membuat saya berani untuk memungutnya walau – saat itu – saya mengerti bahwa Mbah Yai tidak mungkin murka hanya gara-gara runtuhan jambu airnya dipungutin. Keutamaan sifat dan akhlak kiai sepuh jaman dulu, adalah jaminan rasa aman bagi santri dari laknat-waladnya. Tapi perbawanya membuat santri dan masyarakat benar-benar segan untuk su’ul adab.

Hal demikian tidak terjadi pada kebanyakan kiai jaman kini yang mengkondisikan diri secara protokoler dan ekslusif. Sehingga, santri atau masyarakat, hanya ta’dhim di hadapannya namun di belakangnya sering ngomongin yang nggak-nggak.

Mengapa terjadi hal demikian?

1. Kiai sepuh jaman dulu, sebagai waratsat al-anbiya’, benar-benar mumpuni dan mewarisi keteladanan dan keutamaan sifat-sifat nabi secara lahir-batin, sedangkan kebanyakan kiai jaman kini hanya mampu mengadopsi penampilan-penampilan dan aksesoris lahiriahnya yang mudah ditiru oleh siapapun. Potret kelam perkiaian itu terekam dalam banyak kejadian yang diekspose di media seperti kasus-kasus penipuan berkedok kiai, maraknya iklan-promo jimat, asma’ dan kesaktian dll. Itu semua cukup membuat kusam nama kiai sebagai pemuka agama Islam.

2. Kiai sepuh jaman dulu teruji sifat zuhud-wara’nya, sedangkan kiai jaman kini sebaliknya, bahkan terkesan hedonis-materialistis. Hidup bersahaja dan sederhana bukan pilihan lagi, kebanyakan berlomba-lomba dengan bangunan mentereng, tempat tidur yang nyaman dan koleksi mobil-mobil menawan.

3. Kiai sepuh jaman dulu kiprah sosialnya begitu nyata di masyarakat dengan taburan kasih sayang kepada para dlu’afa, sebaliknya kiai jaman kini hanya menebar orasi dan bangga berkawan dengan para pejabat dan orang kaya. Tak jarang malah dijadikan alat untuk menjustifikasi kebijakan atau kepentingan tertentu.

4. Kiai sepuh jaman dulu menjadi tempat curhat orang-orang yang kesusahan, sedang kiai jaman kini pilih-pilih tamu yang kiranya mendatangkan keuntungan dan keramahan sambutannya ‘terlokalisir’ pada kalangan yang strata sosialnya setara.

Mohon maaf kepada kepada para bapak kiai, tidak semuanya seperti itu. Tapi, kiai sepuh itu benar-benar dirindukan karena jarang ditemukan. (Bersambung ke: Aristokrasi Pesantren..)