Keajaiban Takdir (II)


MeccaKeajaiban Takdir (II)
(Tajally Asmaulhusna)
Oleh : Shodiqiel Hafily
11 Maret 2003

Masih tentang Nabi Ibrahim, as. Satu ketika, beliau hendak menengok putranya, Isma’il, as. yang hidup jauh di seberang sana bersama sang ibu, Siti Hajar. Sebelum pergi, Siti Sarah yang pencemburu mempersyaratkan Nabi Ibrahim, as. agar tidak usah bermanis-manis muka dengan Siti Hajar, bahkan tidak boleh bertegur sapa.
Didorong kerinduan yang menggebu untuk bertemu dengan sang buah hati, tanpa pikir panjang, Nabi Ibrahim, as. mengiyakan. Padahal, persyaratan itu –sebenarnya – sangat berat dan mustahil dipenuhi. Bagaimana mungkin sosok mulia seorang nabi harus menyakiti hati istri yang telah memberinya keturunan? Betapa akan merasa tersia-siakannya Siti Hajar, manakala suami berkunjung tapi tidak mengacuhkan. Terlebih lagi, bila diketahui, bahwa semua itu hanya ulah cemburu istri keduanya yang lebih muda, yang dulu sebetulnya budaknya sendiri? Bagaimana Nabi Ibrahim, as. memenuhi janjinya kepada Siti Sarah yang juga disayangi, menjadi pencemburu berlebihan karena – insya’ Allah – sedang mengandung Nabi Ishaq.

Allah SWT, الجامع (Yang Maha Mengkompromikan banyak maksud dan keinginan), tidak merasa kesulitan sama sekali mengeluarkan Nabi Ibrahim, as. dari belitan janji yang menurut akal manusia mustahil dipenuhi. Sebab, pada saat Nabi Ibrahim, as. menjawab “ya”, nun jauh di sana, Siti Hajar pun sedang menjawab “ya” atas kehadiran Malaikat Maut yang menjemputnya.

Tiba di tempat Nabi Isma’il, as, setelah beberapa saat berangkulan melepas rindu, Nabi Ibrahim, as. menanyakan keberadaan sang ibu, Siti Hajar. Dengan sedih Nabi Isma’il, as. hanya dapat menunjukkan makamnya. Jadilah Nabi Ibrahim, as. secara lahiriah hanya berziarah di atas sebuah makam dan berdialog dengan pusara, namun secara batiniah, Nabi Ibrahim dapat dengan leluasa bertegur sapa mesra dengan Siti Hajar yang sudah terlepas dari belenggu ikatan nafsu-nafsu duniawi. Inilah tajally الظاهر والباطن terpadu dengan الجامع. Subhan Allah.

Nabi Ibrahim, as. dapat memenuhi janjinya, Siti Sarah selamat dari amuk cemburu yang di luar kendalinya dan Siti Hajar terlepas dari rasa diacuhkan oleh suaminya. Bahkan sebaliknya, telah merasakan kenikmatan ala surgawi alam kubur sepanjang penantian dipertemukannya kembali kelak di alam yang sama, keabadian.[]

Menyikapi Takdir
Dalam upaya penanggulangan tho’un (lepra) di Yaman, terjadi perselisihan antara para sahabat, apakah baiknya masuk ke lokasi indemi untuk menyelamatkan sebagian yang belum terjangkit dengan resiko ketularan, ataukah menunggu saja hingga keadaan membaik dengan merelakan berlakunya takdir. Sementara di lokasi indemik juga terjadi perselisihan, antara keluar untuk mencari pertolongan dengan resiko menjangkiti dan menyebar virus, ataukah menerima-pasrah saja dengan hati sabar terhadap takdir Tuhan dari pada membahayakan orang lain. Umar bin Khatthab berkata, nahnu nafirr min qadar Allah ila qadar Allah bi qadar Allah, kita menghindar dari sebuah takdir menuju takdir yang lain dan dengan ketentuan takdir pula.[]